Kamis, 07 Januari 2010

RA Kartini

.A Kartini

Raden Ajeng Kartini lahir pada tahun 1879 di kota Rembang. Ia anak salah seorang bangsawan yang masih sangat taat pada adat istiadat. Setelah lulus dari Sekolah Dasar ia tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi oleh orangtuanya. Ia dipingit sambil menunggu waktu untuk dinikahkan. Kartini kecil sangat sedih dengan hal tersebut, ia ingin menentang tapi tak berani karena takut dianggap anak durhaka. Untuk menghilangkan kesedihannya, ia mengumpulkan buku-buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian dibacanya di taman rumah dengan ditemani Simbok (pembantunya).

Akhirnya membaca menjadi kegemarannya, tiada hari tanpa membaca. Semua buku, termasuk surat kabar dibacanya. Kalau ada kesulitan dalam memahami buku-buku dan surat kabar yang dibacanya, ia selalu menanyakan kepada Bapaknya. Melalui buku inilah, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir wanita Eropa (Belanda, yang waktu itu masih menjajah Indonesia). Timbul keinginannya untuk memajukan wanita Indonesia. Wanita tidak hanya didapur tetapi juga harus mempunyai ilmu. Ia memulai dengan mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Ditengah kesibukannya ia tidak berhenti membaca dan juga menulis surat dengan teman-temannya yang berada di negeri Belanda. Tak berapa lama ia menulis surat pada Mr.J.H Abendanon. Ia memohon diberikan beasiswa untuk belajar di negeri Belanda.

Beasiswa yang didapatkannya tidak sempat dimanfaatkan Kartini karena ia dinikahkan oleh orangtuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat. Setelah menikah ia ikut suaminya ke daerah Rembang. Suaminya mengerti dan ikut mendukung Kartini untuk mendirikan sekolah wanita. Berkat kegigihannya Kartini berhasil mendirikan Sekolah Wanita di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini". Ketenarannya tidak membuat Kartini menjadi sombong, ia tetap santun, menghormati keluarga dan siapa saja, tidak membedakan antara yang miskin dan kaya.

Pada tanggal 17 september 1904, Kartini meninggal dunia dalam usianya yang ke-25, setelah ia melahirkan putra pertamanya. Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang artinya Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini. Dalam bahasa Inggris, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers.

Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia

Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.

Saat ini mudah-mudahan di Indonesia akan terlahir kembali Kartini-kartini lain yang mau berjuang demi kepentingan orang banyak, khususnya di Indonesia.

A Kartini

Maya Raden Kartini was born in 1879 in the town of Rembang. He was son of a nobleman who was very obedient to the customs. After graduating from elementary school he was not allowed to continue their education to a higher level by the parents. He dipingit while waiting to be married. Small Kartini deeply saddened by this, he wanted to resist but did not dare for fear of being considered rebellious child. To eliminate sadness, he collected books and other scientific books which he read in the garden house in the company Simbok (assistants).

Finally, read a favorite, no day without reading. All books, including reading newspapers. If there is difficulty in understanding the books and newspapers he read, he always asked his father. Through this book, Kartini's interest in the progress of women think the European (Dutch, who was still colonize Indonesia). Arises desire to promote Indonesian women. Women not only the kitchen but also must have knowledge. He began by collecting her girlfriends to teach writing and other sciences. Amid the busy life he did not stop reading and also writing letters to his friends who were in the Netherlands. Soon he wrote a letter to Mr.JH Abendanon. He pleaded awarded scholarships to study in the Netherlands.

Scholars who had not gotten used Kartini because he was married by her parents with Raden Duke Joyodiningrat. After marriage she joined her husband to the Rembang. Her husband understood Kartini and engage support women to establish schools. Thanks to the persistence of Kartini succeeded in establishing Women's School in Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon and other areas. The school's name is "School Kartini". His popularity does not make Kartini became arrogant, he remained polite, respect the family and anyone else, does not distinguish between poor and rich.

On 17 September 1904, Kartini died in the age of 25, after she gave birth to their first son. After Kartini died, Mr. J.H. Abendanon collected and recorded the letters that Kartini had sent to his friends in Europe. Abendanon then served as Minister of Culture, Religion, and the Dutch East Indies Crafts. The book is titled Door Duisternis tot Licht, which means Dark Terbitlah Habis Terang. The book is a collection of Kartini's letters was published in 1911. This book is printed five times, and at last there is an additional printing letters Kartini. In English, Kartini's letters also been translated by Agnes L. Symmers.

The publication of Kartini's letters, a native woman, very interesting to Dutch society, and Kartini's ideas began to change the view of Dutch society against indigenous women in Java. Kartini thoughts expressed in his letters are also an inspiration for the characters Indonesian national awakening

President Sukarno issued Presidential Decree No.108 of the Republic of Indonesia Year 1964, dated May 2, 1964, which established freedom of Kartini as a national hero and set the birthday of Kartini, dated 21 April, is celebrated every year for the big day which became known as Kartini Day.

Currently, hopefully in Indonesia will be reborn-kartini Kartini who would fight for the interests of the people, especially in Indonesia.


Pangeran Diponegoro (lahir di Yogyakarta, 11 November 1785 – meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun) adalah salah seorang pahlawan nasional Republik Indonesia. Makamnya berada di Makassar.


Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Raden Mas Mustahar,[rujukan?] lalu diubah namanya oleh Hamengkubuwono II tahun 1805 menjadi Bendoro Raden Mas Ontowiryo.

Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.

Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.
[sunting] Riwayat perjuangan

Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.

Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.

Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.

Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830.
[sunting] Penangkapan dan pengasingan

* 16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.

Lukisan karya Nicolaas Pieneman, "Penyerahan diri Pangeran Diponegero kepada Jenderal De Kock".

* 28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April.

* 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch.

* 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado.

* 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.

* 1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.

* 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar.

lokasi makam Pangeran Diponegoro di Jl. Diponegoro Makassar, Sulawesi Selatan. Juli 2008


Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen.

Ki Sodewo memiliki ibu bernama Citrowati yang meninggal dalam penyerbuan Belanda. Ki Sodewo kecil atau Bagus Singlon tumbuh dalam asuhan Ki Tembi, orang kepercayaan Pangeran Diponegoro. Bagus Singlon atau Raden Mas Singlon atau Ki Sodewo setelah remaja menyusul ayahnya di medan pertempuran. Sampai saat ini keturunan Ki Sodewo masih tetap eksis dan salah satunya menjadi wakil Bupati di Kulon Progo bernama Drs. R. H. Mulyono.

Setidaknya Pangeran Diponegoro mempunyai 17 putra dan 5 orang putri, yang semuanya kini hidup tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Jawa, Sulawesi & Maluku.


Prince Diponegoro (born in Yogyakarta, 11 November 1785 - died in Makassar, South Sulawesi, January 8, 1855 at age 69 years) was one of the national hero of the Republic of Indonesia. His tomb is in Makassar.


Diponegoro was the oldest son Hamengkubuwana III, a king of Mataram in Yogyakarta. Born on 11 November 1785 in Yogyakarta from a garwa ampeyan (concubine) named RA Mangkarawati, namely a garwa ampeyan (non empress wife) who came from Pacitan. Diponegoro small named Raden Mas Mustahar, [citation needed] and then changed his name by Hamengkubuwono II in 1805 became Bendoro Raden Mas Ontowiryo.

Realizing his position as the son of a concubine, Diponegoro resist his father, Sultan Hamengkubuwono III to make him king. He refused to remember her mother was not the queen. 3 people have a wife, namely: bZndara Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.

Diponegoro was more interested in religious life and populist that he would rather live in residence Tegalrejo her great-great grandparents, consort of Queen Ageng HB I Tegalrejo than in court. Rebellion against the leadership of the palace began in Hamengkubuwana V (1822) where Diponegoro be one of trust that accompanies the new V Hamengkubuwana 3-year-old, while the daily administration are held by joint Danurejo Patih Dutch resident. The way such a trust is not approved Diponegoro.
[edit] History of struggle

Diponegoro War started when the Dutch set up stakes in the ground in the village of Tegalrejo Diponegoro. At that time, he was already fed up with the behavior of the Dutch who do not appreciate the local customs and are exploiting the people by taxing.

Diponegoro attitude against the Dutch in the open, get sympathy and support of the people. At the suggestion of Prince Mangkubumi, uncle, away from Tegalrejo Diponegoro, and make camp in a cave called Cave Selarong. At that time, Diponegoro stated that resistance is sabil war, the resistance against the infidels. The spirit of "war sabil" which fueled Diponegoro reaching impact to the region and Kedu Pacitan. One religious leader in Surakarta, Kyai Maja, joined the army in Goa Selarong Diponegoro.

During this war the Dutch loss of not less than 15,000 soldiers and 20 million guilders.

Various ways and hold Dutch attempted to arrest Diponegoro. Even the competition was used. Gulden 50,000 gift given to anyone who can catch Diponegoro. Until finally Diponegoro was arrested in 1830.
[edit] Arrest and exile

* February 16, 1830 Prince Diponegoro and the Colonel meet at Remo Cleerens Kamal, Bagelen (now in Purworejo region). Kanjeng Cleerens suggested that Prince and his followers dwelt first in Menoreh while waiting for the arrival of Lieutenant-Governor-General Mark de Kock from Batavia.

Painting by Nicolaas Pieneman, "Prince Diponegero submission to General De Kock".

* March 28, 1830 Diponegoro met General de Kock in Magelang. De Kock force and urged negotiations to end the war Diponegoro. Diponegoro rejected the request. But the Dutch have been carefully prepared ambush. Diponegoro same day arrested and exiled to Ungaran, then taken to a House Residency Semarang, and direct to use the ship Pollux Batavia on April 5.

* Until 11 April 1830 in Batavia, and held captive in Stadhuis (current museum building Fatahillah). While awaiting the decision of the settlement of governor-general Van den Bosch.

* 30 April 1830 the decision was out. Prince Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono and wife, and other followers as Mertoleksono, Bull Planthopper, and will be discarded Sotaruno Nyai to Manado.

* May 3, 1830 Diponegoro and his entourage depart by boat to Manado Pollux and imprisoned in the fort Amsterdam.

* 1834 the fort was transferred to Rotterdam in Makassar, South Sulawesi.

* January 8, 1855 Diponegoro died and was buried in the village of Java, Makassar.

the location of the tomb of Prince Diponegoro on Jl. Diponegoro Makassar, South Sulawesi. July 2008


In the struggle, Prince Diponegoro assisted by his son, named Good Singlon or Ki Sodewo. Ki Sodewo do battle in the region and Bagelen Kulon Progo.

Ki Sodewo has named Citrowati mother who died in the invasion of the Netherlands. Sodewo Ki small or great growth in the care Singlon Ki Tembi, the confidence of Prince Diponegoro. Good Singlon or Raden Mas Ki Singlon or Sodewo after teenager following his father on the battlefield. Until now Sodewo Ki descendants still exist and one of them became vice regent in Kulon Progo named Drs. R. H. Mulyono.

At least Prince Diponegoro had 17 sons and 5 daughters, all of whom are now living scattered across Indonesia, including Java, Sulawesi & Maluku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar